Labels

Minggu, 15 Mei 2011

Kemunafikan dan Buah Terung

Kisah Hikmah

Sesaat setelah Husni Mubarak lengser dari tahtanya di bumi Mesir, seorang penyiar televisi Al-Jazeera membawakan program beritanya dengan wajah berbinar. Rangkaian kata-katanya terdengar bak mendendangkan nyanyian kemerdekaan yang sudah sekian lama dinantikan rakyat Mesir, nyanyian yang juga sudah berpuluh tahun ditunggu dengan penuh sabar oleh segenap bangsa Arab. 
Satu hal yang menarik perhatian saya saat itu adalah ketika si penyiar menyebutkan nama beberapa tokoh media dan penulis Mesir yang juga ikut merayakan kejatuhan Mubarak. Saya masih ingat, betapa tokoh-tokoh itu, beberapa hari lalu, masih begitu manis merajut kalimat pujian untuk sang presiden. Mereka dengan lantang mentasbihkan Mubarak sebagai pemimpin agung yang jenius, pembangun peradaban Mesir modern, pembawa panji kemajuan. Di saat yang sama, mereka dengan lantang mengutuk gerakan para pemuda reformis yang selama dua minggu membanjiri alun-alun tahrir yang fenomenal itu. Tanpa ragu, mereka menyebut para pemuda itu sebagai manusia-manusia yang tertipu, tidak tahu balas budi, dan menjadi budak tangan-tangan asing yang ingin merusak masa depan Mesir. 
Kini, sang presiden “pujaan” mereka lengser keprabon. Secepat kilat pula lidah-lidah mereka bersilat, bak menelan air ludah yang sudah tercecer di mana-mana. Husni Mubarak yang beberapa hari lalu mereka sebut sebagai pemimpin agung yang penuh jasa, kini tanpa ragu mereka anugerahi gelar sang diktator jahat. Para demonstran yang kemarin mereka sebut sebagai budak-budak asing yang tidak tahu budi, kini mereka elu-elukan dengan sejuta pujian. Lidah mereka bernyanyi, memuji betapa pemuda-pemuda itu adalah para pahlawan yang telah menyelamatkan Mesir dari cengkeraman seorang penguasa Zalim dan kroni-kroninya.
Sebuah contoh transparan yang mempertontonkan perilaku munafik dengan begitu telanjang. Hal yang benar-benar mengingatkan saya kepada kata-kata hikmah yang pernah diukir oleh Abul Fath Al-Bisti:
“Manusia biasanya menjadi pendukung bagi raja yang didaulat oleh bangsanya. Namun mereka pula yang menginjak sang raja ketika ia digulingkan oleh bangsanya.”
Manusia yang disebut oleh Abul Fath rahimahullah inilah yang membuat heran sang penyiar Al-Jazeera itu. Mereka yang mengikuti jejak seorang sosok yang disebut sebagai “Teman Terung” oleh Ahmad Syauqi dalam sebuah syairnya. 
Syahdan, “Teman Terung” adalah seorang teman raja yang sangat penjilat. Pada sebuah jamuan makan, ia menyebut terung sebagai buah yang menyembuhkan segala penyakit, karena ketika itu raja memuji rasa terung yang dihidangkan. Namun, masih dalam jamuan yang sama, ketika sang raja menyebut terung itu terasa pahit, “Sahabat Terung” langsung berubah memaki terung sebagai penyebab kematian banyak tokoh bahkan dokter-dokter.
Ahmad Syauqi menceritakan itu dalam bait-bait syairnya:
“Kisah raja yang memiliki teman setia
Suka mengulangi kalimat raja tanpa alfa
Sering memuji raja amat berlebihan
Bila ada pamrih yang ia inginkan
Sang raja pun tahu penjilatnya si teman
Tapi semuanya ia sembunyikan
Suatu hari, duduk lah mereka di depan meja makan
Hadirlah masakan ‘terung’ sebagai hidangan
Sang raja pun segera menikmati makanan
Lalu berucap: ‘terung ini laksana madu aku rasakan’
Secepat kilat si kawan berucap, ‘benar sekali kata raja’
‘madu dan terung memang tak berbeda’
‘Inilah yang disenandungkan oleh Ibnu Sina sang dokter
‘Ini pula yang diucapkan sang tabib Jalinus yang masyhur
‘terung menghilangkan beribu-ribu penyakit’
‘terung menyejukkan hati dan mengusir sakit’
Lalu sang raja berkata: ‘Tapi rasanya pahit’
‘Tidak ada yang memujinya walau sedikit’ 
Si teman pun berkata: ‘Benar itu wahai raja’
‘itulah kekurangan terung yang membuat aku tidak suka’
‘Pahit terung inilah yang membunuh Crates’
‘dengannya pula diracun Socrates’
Raja pun berpaling kepada hadirin di sana
Lalu berkata: ‘Apa pendapat kalian tentang ucapannya?’
Si teman pun berkilah: ‘maafkan daku wahai raja’
‘kiranya perbuatanku tidak ada salahnya’
‘sungguh aku diciptakan untuk menemani raja’
‘tak pernah aku menjadi teman terung, wahai paduka’  
Lalu, apakah rakyat Mesir yang cerdas menyadari kehadiran para penjilat itu? Manusia-manusia yang merelakan diri menjadi budak kekuasaan. Mereka yang tanpa malu menggunakan ujung pena dan media-media mereka untuk menyanjung siapapun yang duduk di kursi kekuasaan. Mereka yang telah menumbuhsuburkan fir’aun-fi’aun dan para bangsawan banci di negeri ini. Mereka yang mempertuhankan para penguasa tiran yang menimpakan derita untuk anak bangsa.
Semoga Allah senantiasa menjaga negeri Mesir tercinta, menjaga reformasinya, menjaga para pemudanya, menjaga semua rakyatnya, menjaga seluruh bangsa Arab dan bangsa-bangsa muslim dari para “Teman Terung” dan sosok-sosok penjilat terkutuk
*Oleh: Prof. Dr. Abdurrahman Al-Barr* Dosen Hadits dan Ilmu-Ilmu Hadits di Universitas Al-Azhar, Kairo.

0 komentar:

Posting Komentar